Support By

Selasa, 20 Oktober 2015

Definisi Pecinta Alam

   Sebuah tonggak baru, yang sekaligus meningisi celah antara kode etik dan kelompok PA. Sebelumnya hal ini bermasalah, karena kode etiknya sudah ada, namun pelakunya tak jelas. Mirip kode etik kedokteran, tapi dokternya siapa tidak tahu. Harus jelas dulu siapa itu dokter, yang pasti bukan therapist, bukan dukun, bukan orang-pinter, bukan masseur, dll. Setelah jelas siapa dan bagaimana itu dokter, baru disusun kode etik nya. Jikapun ada definisi, pasti bikinan orang lain, seperti lembaga / instansi / badan negara. Menurut dephut Pecinta alam adalah …., menurut dikbud , menurut anu ..anu dan anu. Kita habis didefinisikan orang lain, yang jangan kata ngerti dan faham, bahkan kenal juga tidak. Sedangkan menurut saya …. Bunyinya : “ Pecinta Alam adalah sekelompok manusia, yang bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa, terdidik dan terlatih, serta bertanggung-jawab untuk menjaga dan memelihara Alam “.
Penjabaran sederhana, serta konsekwensi logisnya sbb :
1.    SEKELOMPOK MANUSIA
               Dalam pengertian sebuah organisasi, dan bukan individu, melainkan kumpulan dari individu, yang disatukan oleh idealiasasi dan pemahaman yang sama. Kelompok ini mewakili sebuah tatanan nilai, atau sebuah kultur. Seperti orang sunda, orang jawa, orang batak, dll. Dimana konteks “orang” itu mencerminkan tatanan nilai kultural yang ada, dan bukan sekedar berkumpul. Dengan adanya organisasi, maka kontrol / pengendalian terhadap setiap individu anggota dapat diterapkan. Diantaranya kesepakatan adanya kode etik yang harus sama sama dijaga, mulai ditingkat organisasi atau komunitas secara keseluruhan, yaitu kode etik Pecinta Alam hasil rumusanpada Gladian IV -1974 di Makassar.
                       Konsekwensi : kegiatan dan eksistensi yang bersifat individual, tak bisa masuk.
2.    YANG BERTAKWA PADA TUHAN YANG MAHA ESA
              Dalam hal ini konsep takwa, bukan sebatas “menjauhi apa yang dilarang Nya, dan melakukan apa yang disuruh Nya”, karena hal itu merupakan outputnya. Buya Hamka dalam tafsir Al Azhar, masuk pada tatanan yang lebih dalam lagi. Takwa adalah sebuah kondisi ketika manusia selalu memelihara hubungannya dengan Tuhan. Dalam setiap konteks “memelihara” maka konsekwensi logisnya adalah adanya usaha untuk menguasai keilmuan, semata demi hubungan vertikalnya. Memelihara ayam butuh ilmu ayam, memelihara balita butuh ilmu ttg anak. Bahkan memelihara perdamaian, kadang butuh ilmu perang dan senjata, sehingga tercipta détente, atau orang enggan menyerang lebih dahulu karena takut pada serangan balik. Contoh détente nuklir.
              Konsekwensi : mereka yang enggan belajar keilmuan yang relevan, tidak masuk pada kriteria ini.
3.    TERDIDIK DAN TERLATIH
             Merupakan konsekwensi logis dari konsep Takwa diatas, yaitu mempelajari keilmuan. Dilaksanakan melalui sebuah sistem pendidikan dasar dan lanjutan yang bersifat sistemik. Meliputi aspek hardskills dan softskills. Penyatuan integratif antar elemen-elemen , Knowledge, Attitude, Skills , Habits, Tools dan Teamwork (KASH+2T). Semua itu dipraktekan dengan pendekatan latihan. Baik dengan metoda simulasi terbatas, untuk selanjutnya masuk kedalam metoda partisi patorik, atau “going into the object it self “. Biasanya dalam bentuk pengembaraan ke alam terbuka, atau mengikuti operasi2 SAR.
               Konsekwensi : Mereka yang tidak mengikuti sistem pendidikan dan latihan berjenjang, tidak masuk pada kriteri ini.
4.    BERTANGGUNG-JAWAB
                 Tuhan tidak menciptakan kesia-siaan di alam semesta ini. Setiap eksisten / maujud, pasti mempunyai fungsi dan peran fitrah yang sudah ditetapkan pada dirinya. Seperti dalam konsep manajemen, yaitu adanya wewenang dan pendelegasian. Kemudian imbal baliknya / feed-back berupa laporan pertanggung-jawaban secara komprehensif, kepada pemegang otoritas, kepada publik, dan tentu pada sang Khalik.
                   Konsekwensi : mereka yang enggan diberi tanggung jawab, tidak masuk pada kriteria ini.
5.    UNTUK MENJAGA DAN MEMELIHARA
            Menjaga tak ubahnya dengan meronda untuk menjaga rumah2 di kampung. Dilakukan disekeliling atau “diluar” rumah, umumnya oleh kaum lelaki. Intinya adalah menggunakan pendekatan kelelakian (machoisme) dengan metoda yang logis, rasional, reduksionis, parsiaslis dan analitatif. Memelihara, layaknya ibu2 yang memelihara “didalam” rumah. Dengan melalui pendekatan keperempuanan (feminisme), dengan metoda yang mengedepankan aspek rasa, intuisi, integratif, sintesis dan ekologis.
                 Konsekwensi : mereka yang mengedepankan metoda “semau gue” , keluar dari kriteria ini.
6.    ALAM
                 Alam atau kosmos, diwilayah atom, molekul , sel , dll, bernama mikro kosmos. Sebaliknya tata surya, galaksi, cluster galaksi, ruang angkasa, dll. disebut makro kosmos. Manusia berada pada tataran yang ada ditengah nya,yaitu pada tataran “the complex cosmos”. Artinya jika ada usaha yang memisahkan antara manusia dan alam, jelas keliru. Manusia adalah sub- domain dari domain semesta alam secara keseluruhan, yang sama sekali tak dapat dipisahkan !!!. Mencintai alam, harus mempunyai modal dan model. Tanpa pemodelan yang jelas, maka mecintai alam akan kehilangan arah tujuan. Pemodelan yang jelas itu adalah saat manusia mencintai dirinya terlebih dahulu. Cinta diri, akan menjadi modal dan model, untuk mencintai sesama, mencintai alam, bahkan mencintai Sang Pencipta.
             Konsekwensi : mereka yang gemar untuk menganiaya diri, berlaku nekad dan sembrono, bertindak fatalis, yang bisa menyebabkan dirinya teraniaya dan celaka.

      Pergi dan beraktifitas sembarangan tanpa mengindahkan faktor keselamatan / safety prosedur dan enggan untuk menambah keilmuan, jelas tak masuk kedalam kriteria ini. Saat satu saja kriteria ini dilanggar, maka konsep Pecinta Alam lepas dari dirinya. Lalu seseorang disudut sana berseloroh …. Waaah atuh kang, kalau begitu sempurna mah rasanya tak bakalan ada yang berani meng”klaim” bahwa dirinya Pecinta Alam, sesosok mahluk yang sempurna dan suci…. Kalau logika itu yang dipakai …. Maka tak ada seorangpun yang berani mengklaim agama yang dianutnya. Shalat saya masih acak kadut, puasa saya masih belang betong, zakat saya masih kalau sempet, naik haji apalagi belum punya duitnya …. Tapi saya berani mencantumkan di KTP, agama saya Islam, atau ada yang kristen, budha , hindu, dll. Bukan karena telah sempurna dalam beragama. Namun karena sebuah pemahaman, bahwa yang dinilai bukan pada hasil akhir (result) namun proses yang dijalaninya, dengan segenap tenaga dan kesungguhan yang dimilkinya. Agama saja berani di klaim, Apalagi pecinta alam, yang sekedar alat untuk mencapai tujuan Yaitu, menjadi orang yang bermanfaat bagi diri dan sekelilingnya Seraya menjadi bagian dari solusi dan problem solver Ketimbang sekedar menjadi trouble maker.
    Definis Pecinta Alam butuh waktu 5 menit untuk membacanya Butuh 3 jam untuk menerangkannya Namun percayalah, Butuh seumur hidup untuk memahami keseluruhannya, Saya juga masih memahaminya sedikit demi sedikit.

   Terima kasih sudah membaca artikel ini.

Tidak ada komentar: